Hanya seminggu sebelum peringatan Hari Kemerdekaan RI yang ke -67,
tepatnya pada hari Sabtu 11 Agustus 2012 lalu, dilakukan penandatanganan
“proyek re-born” pembangunan kembali hingga menerbangkan pesawat
komuter pertama buatan bangsa Asia Tenggara yaitu pesawat komuter
propeler (baling-baling) N-250 yang diberi nickname Gatot Kaca,
akan dihidupkan lagi, oleh sang bidan, si pencetus ide-ide “gila”
dirgantara Indonesia, Profesor Baharuddin Jusuf Habibie, mantan
Menristek RI di tahun 1980-an dan Presiden RI ke-3.
Saya katakan, pak Habibie adalah “jenius gila” kedirgantaraan Indonesia,
bukanlah dengan maksud menghina beliau, apalagi dengan tingkat
kecerdasan yang diakui bangsa Jerman, bahwa Habibie adalah penasihat
utama industri penerbangan Jerman, termasuk tokoh di balik pembangunan
pesawat jet tempur Jerman, Tornado.
Namun saya justru menaruh hormat setinggi-tinggi nya pada beliau yang
tak kenal menyerah, ingin menjadika bangsa Indonesia sebagai pionir
industri dirgantara Asia Tenggara, bahkan menjadi salah satu yang
terbaik di dunia bahkan Asia. Mengingat untuk industri otomotif, harus
diakui Indonesia sudah kalah jauh dari Malaysia dengan mobil Proton dan
Perodua nya yang telah mendunia.
Beliau sempat membisiki Presiden Soeharto, bahwa untuk mengejar
ketertinggalan dari Malaysia, jangan ikut-ikutan membuat mobil, namun
bangunlah industri dirgantara. Tanpa disadari banyak orang, Indonesia
sebelum Habibie sebenarnya telah pernah punya seorang pembuat pesawat
terbang jenius, yaitu pak Nurtanio, yang namanya sempat diabadikan
sebagai nama pabrik pesawat terbang pertama di Indonesia.
Jika pak Habibie harus sekolah di Jerman dahulu baru mampu membuat
pesawat terbang, maka mendiang Nurtanio mempelajarinya secara otodidak.
Persis seperti sinyo Belanda kelahiran Blitar, Jawa Timur,
Anthony Fokker, yang bahkan di era 1960 hingga 80-an sempat mendirikan
industri pesawat terbang komersial terbaik ketiga dunia setelah Boeing
dan Mc Donell Douglas, yaitu Fokker.
Bahkan Fokker adalah perusahaan dirgantara terbaik Eropa sebelum
negara-negara pesaing Belanda, seperti Inggris, Jerman, Prancis dan
Spanyol bersatu membuat Airbus Industrie.
Bermodalkan hal itulah, Habibie meyakinkan para pemimpin Indonesia,
terus menerus sejak jaman Presiden Soeharto hingga Susilo Bambang
Yudhoyono sekarang, bahwa mendirikan industri dirgantara yang padat
karya menggunakan sebagian besar, bila perlu 100% tenaga ahli Indonesia,
adalah hal yang mungkin terjadi bahkan, kemungkinan besar sukses !
Di saat banyak orang Indonesia masih menganggap bahwa bangsa nya adalah
bangsa pembeli, konsumtif, Habibie sejak ditugaskan memimpin BPPT, telah
mengindoktrinasi para anak-anak muda cerdas Indonesia, bahwa bangsa
Indonesia sejak tahun 1970-an harus mulai mensejajarkan diri dengan
bangsa Jepang dan Jerman, yaitu mampu membuat pesawat dan kapal laut
sendiri.
Beliau tidak lagi bicara bangsa Malaysia, Singapore, Thailand atau bahkan Korea Selatan dan RRC.
Saya masih ingat bahkan di awal tahun 1990-an pak Habibie sepulang nya
kunjungan dari Beijing, mengatakan bahwa industri dirgnatara Indonesia
saat itu udah unggul 30 tahunan dari industri dirgantara China.
Nah, sekarang jika kita melihat bahwa RRC bukan hanya telah mampu
membuat jet tempur sekelas Sukhoi, namun juga mampu membuat rudal antar
benua (untuk yang ini, Indonesia sedang belajar alih teknologi mulai
dari rudal jarak pendek C-75), bahkan mereka telah mampu menerbangkan
manusia ke ruang angkasa dengan roket sendiri.
Sementara Habibie yang sempat begitu semangat (saya lebih suka
mengatakannya begitu, ketimbang menuding beliau, menyombongkan diri),
meyakinkan bahwa bangsa Indonesia di tahun 80 dan 90-an berada di depan
RRC, kini proyek-proyek nya melalui PT IPTN (nama baru PT Nurtanio),
dijegal beramai-ramai baik oleh pihak asing melalui IMF maupun saudara
sebangsa nya sendiri dengan mengatas namakan reformasi, sejak “krisis
ekonomi” tahun 1998, yang berakhir dengan kejatuhan “pelindung” Habibie,
yaitu Presiden Suharto.
Padahal ketika itu, Habibie dan PT IPTN sedang getol mempersiapkan
perijinan laik terbang dari FAA untuk pesawat N-250. Pesawat
baling-baling komersial yang menggunakan teknologi fly by wire pertama di dunia ketika itu.
Proyek ambisius lainnya adalah jet komersial jarak menengah dengan
kapasitas di bawah 200 orang, yaitu N 2130 yang berkapasitas sesuai nama
nya, 130 penumpang, menggunakan teknologi yang sekelas pesawat jumbo jet. Ketika itu, jika sebelum tahun 2000 jadi terbang, maka bisa dibayangkan betapa akan larisnya pesawat tersebut diserap booming airline low cost yang saat ini terbukti sebagai pangsa pasar utama pesawat jenis ini.
Walhasil, dengan gagalnya N 250 dan N 2130 terbang, kini yang menikmati
untung adalah perusahaan-perusahaan seperti Embraer Brazil, Bombardier
Canada, bahkan para raksasa seperti Boeing dan Airbus yang ikut-ikutan
mebuat pesawat jenis ini, karena memang lebih cepat terjual.
Bahakn untuk Boeing 737-900, LION AIR, maskapai low cost terbesar
Indonesia seteah Air Asia Indonesia, adalah pengguna terbanyak di dunia.
Terbukti ide pak Habibie bukan ide gila. Namun pemerintah Indonesia lah
yang “ngawur” , karena tidak memproteksi industri pelopor kelas dunia
seperti ini, malah dibiarkan diterpa badai korupsi, krisis ekonomi,
hingga penjualan yang dibarter dengan beras ketan dan mobil Melayu,
Proton. Bahkan sempat hampir dipailitkan di pengadilan, jika pemerintah
SBY tidak segera insyaf, dan berupaya menyelamatkan segera perusahaan
tersebut
Sekali lagi salut dengan Pak Habibie.
Setengah kecewa dan agak putus asa dengan dukungan Pemerintah Indonesia
terhadap PT Dirgantara Indonesia (nama baru dari PT IPTN) selama ini,
beliau memutuskan untuk mengajak putranya sendiri, satu-satunya mungkin
manusia di dunia ini yang beliau percaya untuk mendukung ide gila nya,
setelah istri nya, Hj. dr. Ainun Habibie wafat tahun lalu.
Sang junior yang juga seorang insinyur dirgantara cum laude
lulusan Aachen Jerman, Dr. Ing. Ilham Habibie diajak untuk mendirikan
perusahaan industri dirgantara swasta pertama di Indonesia, kompetitor
sekaligus diharapkan akan menjadi mitra utama PT DI.
Nama perusahaan
tersebut adalah PT Regio Aviasi Industri (RAI). PT tersebut didirikan
dua perusahaan swasta, PT Ilhabi milik putra sulungnya, Ilham Akbar
Habibie, yang memegang saham 51 persen dan PT Eagle Capital milik Erry
Firmansyah yang memegang saham 49 persen.
Di perusahaan tersebut Habibie menjadi Ketua Dewan Komisaris.
Pada Sabtu lalu 11
Agustus 2012 dilakukan penandatanganan proyek pengembalian dan
penyelesaian kembali pesawat N250 yang sempat terhenti.
“Kami akan `redesign` (desain ulang) pesawat, salah satunya mesin. Ini perlu karena ada gap teknologi telah tertinggal kurang lebih 20 tahunan,” ujar pemilik 46 paten di bidang Aeroneutika itu.
“N250 is still the best,” kata Habibie , tetap dengan gaya pede
nya yang saya sebut “jenius gila” di atas, di sela-sela Open House
menyambut Hari Raya Idul Fitri 1433 Hijriah di kediamannya di Jalan
Patra Kuningan XIII, Jakarta, Minggu 19 Agustus 2012.
Habibie mengatakan pesawat tersebut akan dapat terbang dalam lima tahun
ke depan dengan perubahan rancangan pesawat yang serba digital.
Target berikutnya
jika N-250 berhasil kembali tampil dalam kancah industri dirgantara
dunia, apalagi jika berhasil tampil sebagai pionir ataupun pemimpin
pasar di kelas nya, maka para insinyur dan tenaga ahli di PT RAI akan
dikerahkan langsung pada proyek berikutnya….menghidupkan kembali proyek
pesawat jet komersial N 2130 yang mungkin ditargetkan terbang komersial
sekitar 10 tahun lagi.
Di saat sebagian besar pejabat dan pemimpin bangsa ini sibuk dengan “bagi-bagi jatah”
harta dan kekuasaan serta suara partai politik, ribut-ribut soal kasus
korupsi, Habibie yang 10 tahun lalu sempat dituding sebagai salah satu
penguras keuangan negara dan “maling uang rakyat”, justru membuktikan
dirinya bahwa belau masih tetap memikirkan rakyat, ketimbang menguras
uang rakyat lalu berfoya-foya hanya untuk keluarganya sendiri.
Beliau berfikiran
ala Deng Xiaoping dan Sun Yat Sen, bahwa bangsa nya adalah bangsa yang
besar karena prestasi, bukan besar sekedar dari jumlah penduduk atau
luas wilayah saja.
Prestasi yang
paling beliau kuasai dan paling ingin beliau wujudkan adalah membangun
industri dirgantara Indonesia yang mandiri yang berkelas dunia.
Beliau berusaha
memanggil kembali para mantan murid-murid nya, tenaga-tenaga ahli
kedirgantaraan Indonesia yang sejak krismon 1998, bertebaran mencari
nafkah di luar negeri, karena ketika itu industri dirgantara Indonesia
mati suri.
Bahkan PT IPTN di awal dekade 2000-an sempat mencari side job membuat antena parabola! Demi kelangsungan hidup perusahaan. Ironis sekali.
Kini Habibie
mencoba membangkitkan lagi mesin penggerak industri dirgantara pertama
di Asia Tenggara tersebut, namun melalui kendaraan yang berbeda,
dikarenakan beliau mulai meragukan kemampuan dan integritas PT DI,
sebagai kendaraan lama beliau, yang terlalu banyak dicampuri tangan
politik.
Sekali lagi, beliau tidak pernah berfikiran hanya sekedar ingin Indonesia menjadi yang terbaik di Asia Tenggara atau Asia saja.
Sejak tahun
1980-an, beliau sudah ingin “menghadapkan” industri penerbangan
Indonesia dengan Boeing dan Airbus! Tentu untuk kelas tertentu seperti
helikopter ataupun pesawat komuter maupun pesawat jet komersial kelas
menengah.
Beliau mengakui
sendiri bahwa masih sangat jauh, untuk Indonesia mampu membuat pesawat
sekelas jumbo jet, ataupun freighter cargo sekelas Hercules ataupun
Antonov.
Bahkan Embraer pun
menurut beliau seharusnya berada di bawah Indonesia prestasinya, jika
PT IPTN atau yang sekarang bernama PT DI tidak diterpa badai krisis
tahun 2000 -2007 lalu.
Semoga sukses Pak Rudi (panggilan kecil pak B.J Habibie) !
Mudah-mudah usia
bapak cukup panjang untuk melihat impian yang sempat tertunda ini,
terwujud menjadi nyata. Kami generasi muda Indonesia berada di belakang
Anda selalu, selama pak Rudi konsisten dengan janji, tekad, impian dan
kejujuran, karena kami tahu selain cerdas, pak Rudi Habibie juga satu
dari sangat sedikit pemimpin Indonesia yang memiliki IQ dan ESQ sama
tingginya.
Cerdas, tegas dan taat pada Allah SWT.
Source : Kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar