Entahlah kenapa banyak anak bercita-cita menjadi pilot – nyaris
bersaing dengan kelompok yang bercita-cita menjadi dokter. Mungkin
karena sejak kecil setiap anak sudah terkagum-kagum melihat sebuah benda
sebesar pesawat bisa terbang melayang di angkasa, sementara mereka tau,
berkat gravitasi, benda-benda kecil yang ringan saja akan terjatuh.
Kalau benda yang terbang itu dikagumi, maka yang menerbangkannya
pastilah lebih dikagumi lagi.
Sudah kodrat manusia suka dikagumi. Karena itu banyak cita-cita
(dalam dunia anak) memang bermula dari kekaguman mereka. Biasanya tak
jauh dari lingkungan rumah. Anak-anak polisi, misalnya, pasti kagum
melihat ayahnya berangkat kerja dengan gagah. Sehingga sejak kecil alam
pikiran mereka telah terpenuhi oleh keinginan untuk â€menjadi seperti
ayahâ€. Anak-anak dokter akan terinspirasi untuk berpakaian putih-putih
dan berkacamata, semirip orangtuanya. Anak-anak bloger? Kayaknya bakal
ngotot minta dibikinin blog juga hehehehe.
Tetapi
ini cerita tentang pilot. Para penerbang ini tidak saja dikagumi
anak-anak. Kebanyakan yang bukan anak-anak lagi pun bahkan tetap
mengagumi mereka. Terutama mengingat profesi ini termasuk yang sedikit
sulit diraih, dan karena itu mereka yang berhasil menjadi pilot dianggap
beruntung – biasanya dipercaya pula sebagai orang-orang pilihan. Kita
kemudian disuguhi kisah-kisah hidup mapan para pilot, perjalanan
melintas pulau dan negeri, juga pramugari-pramugari cantik setiap hari.
Pendek kata, jadi pilot itu betapa asyiknya.
Saya berkenalan dengan beberapa pilot, dan karena saya suka memotret,
perkenalan itu biasanya hanyalah akal untuk bisa masuk ke ruang kokpit
dan memperoleh view yang lebih baik – untuk kepentingan fotografi saya tentu saja. Beberapa kali ikut jump seat
di kokpit, dengan jenis pesawat berbeda, saya akhirnya jadi pengen
mengemudikan pesawat juga. Maklum, nyetir mobil saja suka. Apalagi
nyetir pesawat, pastilah ada sensasi yang berbeda.
Masalahnya keinginan itu belum terwujud sampai sekarang. Maklum,
kokpit-kokpit yang saya masuki semua adalah kokpit pesawat komersial.
Pastilah semua penumpang protes kalau tau ada penumpang lain mau iseng
mengambil alih kemudi. Saya masuk ke kokpit saja ada yang menatap
curiga. Mungkin dikira teroris.
Di ruang-ruang kokpit yang tertutup itu pilot nyaris sangat jarang
berinteraksi dengan penumpang. Tak seperti kisah-kisah jin sakti yang
membawa aladin terbang di atas permadani, pilot biasanya hanya bersuara
di saat hendak take off dan sebelum landing. Itu pun
sekadar instruksi kepada awak kabin. Mungkin ada pengecualian pada
beberapa penerbangan internasional, di mana pilot kerap memberi
informasi kepada penumpang tentang kondisi cuaca, suhu di luar pesawat,
juga posisi sedang berada di mana.
Karena itu, suasana di ruang kokpit kerap bikin penasaran. Apalagi
ada pemandangan ajaib berupa potongan bumi yang lebih sempurna
dibandingkan side view di posisi pinggir jendela. Setiap ada
kesempatan terbang, saya sering berpesan kepada pramugari, apakah kapten
pilot memperkenankan penumpang iseng seperti saya masuk ruang kokpit.
Sejauh ini, jawabannya selalu tidak. Entah disampaikan atau tidak, yang
pasti pramugari bilang, “pilot tak mau diganggu.”
Kesempatan masuk ruang kokpit hanya saya dapatkan ketika pilotnya
sudah lebih dulu saya kenal di darat. Adalah persoalan rumit untuk
mencocokkan jadwal saya berangkat dengan schedule si pilot yang
saya kenal. Hanya keberuntungan yang akhirnya mempertemukan. Yeah,
setidaknya saya pernah menikmati indahnya dunia dari dalam kokpit Boeing 737-200, MD 82, Hercules C130, Fokker 27 dan Cassa 212. Semua dengan aneka tombol rumit yang entahlah untuk apa saja.
Melihat pilot bekerja, dengan komunikasi intens ke petugas menara air traffic control
(ATC), juga jari-jari lincah mereka menekan dan menggeser tombol di
depan-bawah-atas, terbayanglah lagi betapa dahsyat akal manusia.
Maka, bahagialah orang-orang yang berakal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar