
Laura kecil hidup dalam keluarga sangat sederhana. Ayahnya tertimpa masalah pekerjaan. Rumah pun dijual untuk menutup hutang. Peristiwa pahit itu menimbulkan rentetan panjang masalah keluarga. Setelah menumpang di rumah Oma, mereka mendirikan rumah di atas bekas kuburan anjing, 2x40 m. Pindah dari kontrakan satu ke kontrakan yang lain di lingkungan kumuh di Jakarta Barat.
Masalah ekonomi kerap memicu pertengkaran orangtuanya. Laura dan Dewi,
adiknya menjadi sasaran kemarahan mereka. “Bisa bayangkan, kami berempat
pernah tinggal di rumah papan ukuran 3x4m. Karena sempit, kaki atau
kepala kami melewati pintu rumah yang dibuka. Semua orang yang lewat
lihat kami…” kata Laura yang saat wawancara didampingi Dewi, adiknya di
sebuah mal di daerah Kelapa Gading, Jakarta.
Makan adalah persoalan hampir
setiap hari. Satu kali saat makan tiba, hanya ada seribu rupiah. Ibunya
menyuruh Dewi membeli terong. “Mama membuat sambal, kami makan dengan
sangat lahap. Enaknya masih kebayang…,” ujar Dewi terkekeh.
Syukur, Ibunya seorang pekerja keras. Selalu berjuang agar mereka bisa
makan dan kedua anaknya tetap bersekolah. Sebelum berangkat ke sekolah,
Laura kerap membantu, menyunggi tampah atau penampi berisi donat buatan
ibunya, membawanya ke warung.
Urusan sekolah menjadi persoalan tersendiri bagi Laura dan Dewi. Mereka
sering menahan malu di hadapan teman-teman sekolahnya. Ditegur atau
dipanggil guru karena menunggak uang sekolah atau belum melunasi
kewajiban lain. Satu kali, karena tidak punya sepatu hitam, Dewi
mewarnai sepatu putihnya dengan spidol hitam. Dewi pakai sepatu
kreasinya ke sekolah. Namun tak disangka hujan turun, sepatu basah,
spidol itu luntur.
Di tengah-tengah kesulitan, datang pertolongan. Om Andre membantu biaya
sekolah dan Om Hilton, menebus ijazah. Keduanya adalah adik ayahnya yang
kerap membantu Laura dan Dewi. “Bahkan Om Hilton menawari membiayai
kuliah. Namun tekadku waktu itu, setelah lulus, aku bekerja,” kenang
kelahiran Jakarta 25 Maret 1985, anak pertama dari dua bersaudara
pasangan Jhon Lim dan Fanny.
Impian Masa Kecil
Cita-cita Laura tak pernah berubah. Saat ia masih kanak, wajah,
penampilan dan gaya pramugari melekat erat dalam pikirannya. Terpatri di
hati kecilnya yang paling dalam. Ia senyum-senyum sendiri tatkala
membayangkan berseragam rapi, menenteng koper, berjalan
anggun…Oh…cantiknya! Rasa bangga berjingkat-jingkat di hati yang kerap
terluka dengan keruwetan persoalan orangtua. Pramugari yang pernah ia
dengar, banyak uang, pintar dan bisa keliling dunia. Ahai…keliling
dunia….keliling dunia. Wow!
Tak dapat ditunda. Inilah saatnya, pikir Laura. Tapi bagaimana caranya?
Titik terang datang juga…. “Anak ibu datang saja bawa lamaran ke
perusahaan penerbangan itu,” kata salah seorang pelanggan kue bikinan
Fanny.
Hati Laura benar-benar berdebar. Badan ditimbang dan diukur tingginya.
Para pelamar berjajar menghadap para penyeleksi. “Kami sarankan datang
kembali dua tahun lagi…,” kata penerima CV Laura. Yah..usianya belum
memenuhi syarat. Ia belum cukup umur, baru 16 tahun. Mama yang
mendampinginya memberi penghiburan, “ Jangan sedih…dua tahun kembali.”
Laura terhibur…, pramugari! Beberapa bulan kemudian, Laura mencoba di
perusahaan penerbangan yang berbeda. Hasilnya sama, ditolak karena umur.
Tak mau menganggur, Laura melamar pekerjaan dan diterima menjadi staf
administrasi bagian gudang. Pekerjaan yang membosankan bagi Laura.
Penantian yang panjang menjadi pramugari.
Menjadi Pramugari
Juli 2003. Ditemani ibunya, Laura kembali melamar menjadi pramugari.
Kali ini Laura tersandung kelebihan berat badan. Oh, baginya tak
masalah. Ia akan berjuang menurunkannya. Pasti bisa! Beberapa bulan
kemudian, ia kembali datang ke perusahaan penerbangan swasta yang sama,
Lion Air. Interview dilakukan beberapa tahap. Laura diminta mengikuti
training! Wah…senangnya bukan main.
Training yang cukup berat dilakukan selama tiga bulan. Mengenal semua
jenis pesawat, cara menggunakan semua peralatan dalam kabin, prosedur
keselamatan penumpang menjadi porsi utama sampai cara menghadapi itikad
penumpang yang tidak baik. Mengevakuasi penumpang kalau terjadi
kecelakaan. Pokoknya harus terlebih dulu menyelamatkan penumpang
daripada diri sendiri. Instruktur menjelaskan sederetan sanksi yang akan
menjerat bila melakukan pelanggaran.
Semua terbayang dengan jelas pertama kali menyeret koper keluar dari
gang sempit rumahnya. Dan terbang. Menerima gaji dan berbagai tunjangan
dari hasil pekerjaannya. Makan dan tidur di hotel berbintang sesampai di
kota dan negara tujuan. Gaya hidup Laura berubah. Ia bisa membeli baju
merk branded dan sepatu tiga pasang sekaligus. “Sering sekali barang
yang dibeli tak terpakai…hanya ditumpuk di rumah. Karena yang dibeli
keinginan bukan kebutuhan,” sesal Laura.
Kecelakaan Itu
30 November 2004 Laura mendapat tugas rute Jakarta-Solo. Sudah beberapa
hari sebelumnya perasaannya tak nyaman. Sampai di bandara, bergegas
menuju flops, melihat nama crew yang bertugas hari itu. Hati Laura
senang, Dessy, dijadwalkan pada penerbangan yang sama. Namun hari itu
sikap Dessy tak biasa. Sahabat yang bawel ini terlihat pendiam. Laura
tak ingin mengusik teman seperjuangan dalam musibah di Palembang.
Pesawat mendarat melewati batas landasan pacu. Pesawat berhenti sejauh
50 meter dari bentangan kabel tegangan tinggi setelah roda ambles
sedalam 50 cm ke dalam tanah. Seluruh crew bekerja keras. Mengevakuasi
mereka sesuai prosedur. Syukurlah, tak ada korban meninggal dalam
peristiwa itu.
Penerbangan sore, Lion JT 538 mengudara. Cuaca sangat buruk. Guncangan
dan hentakan berulangkali. Perasaan Laura makin tak enak. Awak kabin
memberi pengumuman agar para penumpang tetap menggunakan sabuk pengaman.
“Para penumpang yang terhormat, kita sedang terbang dalam cuaca kurang
baik….” disusul suara Captain. “Prepare for arrival”. Hitungan menit
pesawat akan segera mendarat di bandara Adi Sumarmo 18.14 WIB. Sungguh
langit Solo kelam.
Detik mengejar detik berikutnya. Dan peristiwa mengerikan itu terjadi.
Badan pesawat terhempas. Menimbulkan suara yang keras. Awak dan
penumpang histeris. Jeritan pilu, erangan, rintihan kesakitan beradu
dari segala arah. Tubuh Laura dihantam dan tertindih berbagai benda
keras. Bau anyir pekat mengumpul di hidungnya. Kepala Laura terasa
sangat berat.
Tubuh “Rusak” Berat
Tak lama kemudian dengan cepat orang bisa melihat peristiwa mengenaskan.
Karena ada penumpang seorang reporter dan kameraman televisi swasta,
korban selamat yang merekam peritiwa itu.
Menurut investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi pesawat
mengalami hydroplaning. Hilangnya efektivitas pengereman saat mendarat.
Akibat¬nya pesawat melaju hingga menabrak landasan pacu. Sebagian badan
pesawat nyungsep di kuburan yang tak jauh dari bandara. Korban tewas 34
orang!
“Ini ada kenang-kenangannya,” ungkap Laura yang kini mengelola usaha
restoran Cobek Babe di daerah Kelapa Gading ini. Laura menunjukkan pipi
sebelah kanan bekas jahitan dan kaki yang bergumpal-gumpal bekas 17 kali
operasi. Daging paha Laura dicangkokkan ke betis kanan yang hilang.
Pinggangnya patah. Daging pipi kanan tercabik dan tulangnya remuk. Dalam
peristiwa itu Laura banyak kehilangan teman kerjanya, termasuk Dessy.
Mengalami Pemulihan
Laura sangat bersyukur masih diberi hidup. Pastilah ada rencana Tuhan
baginya. Kesempatan kehidupan yang tak boleh sedikit pun ia sia-siakan.
Beberapa media cetak dan elektronik menulis dan menayangkan
kesaksiannya. Ia juga menulis kisahnya dalam buku Unbroken Wings.
Lewat peristiwa itu, Laura mengenal Tuhan secara pribadi, keluarga
dipulihkan. Dan tak lama lagi ia bersaksi lewat lagu yang akan ia
nyanyikan. Terbanglah Laura. Terbang dengan sayap yang tak akan pernah
patah.
Sumber: Majalah Bahana, Agustus 2009 ;ebahana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar